Ayat Al Quran

Kamis, 20 Januari 2011

Membangun Budaya Demokrasi

Membangun Budaya Demokrasi

16 Mei 2010

Demokrasi adalah pilihan masyarakat modern untuk menyelenggarakan kehidupan bersama. Demokrasi merupakan hasil pengalaman berabad-abad berbagai peradaban dalam mengelola kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya dalam kerangka kontrak sosial.

Demokrasi menjadi sistem karena di dalam demokrasilah kepentingan kehidupan bersama dikelola. Sebagai sistem, demokrasi memiliki tiga elemen utama, yaitu: input,proses, dan output.

Input dari demokrasi tentulah aspirasi, partisipasi publik dan, dalam bentuk yang formal, suara (vote). Input inilah yang diolah dalam proses demokrasi politik yang berupa agregasi dan kondensasi informasi, pilihan serta preferensi induvidu. Proses tersebut akan menghasilkan output berupa pengelolaan kehidupan bersama yang memberi manfaat untuk semua.

Proses demokrasi ini harus dijaga dari distorsi serta harus dipastikan dapat menghasilkan output sesuai dengan yang diharapkan. Proses yang terdistorsi atau proses demokrasi yang gagal dapat berujung pada dua (2) skenario:

(1) tidak ada output, seperti yang terjadi di jaman Presiden Soekarno, dimana dinamika politik ideologi gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat;

(2) ada output, tapi tidak baik untuk rakyat; seperti yang terjadi di jaman Presiden Soeharto, dimana kesejahteraan hanya dinikmati oleh sebagian orang dan banyak terjadi deteriorisasi kebebasan politik.

Dengan kerangka tersebut, saya ingin menggulirkan suatu diskusi tentang demokrasi yang produktif, sebagai hasil dari pengelolaan input, proses dan output yang terjaga, baik oleh sistem, maupun oleh etika politik. Demokrasi yang produktif adalah demokrasi yang mampi memecahkan masalah.

Partai politik merupakan pilar penting dalam mewujudkan demokrasi yang produktif. Partai politik menjadi kanal aspirasi publik ke dalam sistem dan saluran informasi dari sistem politik ke ranah masyarakat.

Partai politik adalah lini terdepan dari sistem politik yang berhadapan dengan publik. Sudah waktunya partai politik memberi porsi yang seimbang antara masalah-masalah nasional dan lokal. Justru partai politik mesti makin tertarik untuk merespon kebutuhan-kebutuhan lokal. Harusnya ada insentif ketika partai politik mampu menyelesaikan masalah lokal, tapi sekarang kita kerap menyaksikan betapa yang mampu menyelesaikan keinginan elitelah yang diberi insentif

Contohnya, dalam perumusan kebijakan publik. Partai politik seharusnya menjadi kanal aspirasi publik dan memberikan informasi, bukannya malah menjadi kasino tempat kebijakan publik dirumuskan di ruang tertutup dan rentan terhadap intervensi vested interest.

Partai politik dengan komitmen untuk mengembangkan kemampuan permasalahan lokal akan memberi ruang bagi tumbuhnya pemimpin-pemimpin politik yang “berkeringat,” berakar dan merintis dari bawah. Dengan kesadaran itu, partai politik juga akan mengembangkan meritokrasi sebagai pilihan rasional untuk mewujudkan demokrasi yang produktif.

Beranjak dari kerangka itu pula, pemimpin politik dalam demokrasi yang produktif harus memiliki dua (2) klasifikasi, yaitu

(1) kualifikasi politis, ini adalah kualifikasi dimana seorang pemimpin politik harus akseptabel. Akseptabilitas kepemimpinan merupakan hasil yang didapat dari integritas, moralitas, kompetensi dan penerimaan terhadap pluralitas bangsa. Pemimpin politik haruslah memiliki catatan moralitas yang baik, integritas yang tidak cacat, kompetensi yang dapat diandalkan, dan-yang tidak kalah penting-kesadaran akan fakta bahwa Indonesia adalah sebuah negara dengan keragaman dalam hampir seluruh aspek kehidupannya. Kualifikasi politis ini akan membangun legitimasi politik seorang pemimpin;

(2) kualifikasi teknis, berkaitan dengan begaimana kepercayaan publik dikelola dan diwujudkan dalam kinerja nyata kepemimpinan politik. Kemampuan teknis adalah kapabilitas manajerial untuk menggerakan sumber daya yang dimilikinya dan dalam bentuknya yang formal, mampu mengelola organisasi partai hingga pemerintahan. Pengalaman berorganisasi yang melatih kemampuan seseorang untuk mengomunikasikan visi, menyinergikan kekuatan dan memediasi konflik sangat relevan di sini.

Dua kualifikasi di atas tidak terpisahkan dan komplementer. Tanpa kualifikasi teknis, kualifikasi politis seorang pemimpin akan tergerus karena kegagalan mewujudkan kinerja yang efektif. Namun, kecakapan memimpin dan mengelola organisasi tidak bermakna jika pemimpin tersebut tidak menunjukan integritas dan tidak memiliki akseptabilitas. Tidak mungkin sebuah kepemimpinan politik berjalan tanpa kepercayaan dari konstituennya.

Pemimpin dengan dua kualifikasi di atas hanya lahir dari proses yang panjang, bukan “karbitan.” Kematangan kualifikasi politis baru bisa dimiliki setelah melalui proses pembuktian legitimasi dalam dimensi integritas, moralitas, kompetensi dan kapabilitas politik.

Kualifikasi teknis, meski dapat dipelajari, juga tidak bisa diperoleh secara instan. Kemampunan menata dan mengelola politik tidak hanya mengacu pada aspek teoretik. Dibutuhkan pengalaman langsung di lapangan untuk menguji kapabilitas seorang calon pemimpin.

Itulah kerangka besar dari demokrasi yang modern yang produktif, demokrasi yang mampu menyelesaikan masalah dan mewujudkan kesejahteraan, yang bersendikan pada partai politik yang berkomitmen untuk merespon permasalahan lokal yang mampu melahirkan pemimpin yang berakar dengan kualifikasi teknis dan politis yang memadai.

Budaya Demokrasi

Saya akan melengkapi pembahasan mengenai demokrasi sebagai sistem dengan urgensi membangun budaya politik. Lebih jauh lagi, saya mengusulkan masalah perubahan budaya sebagai agenda perubahan dan perbaikan politik Indonesia ke depan.

Perubahan politik tidak boleh berhenti hanya dalam dimensi perubahan struktur politik, apalagi semata perubahan elit. Perubahan struktur, apalagi dalam tataran formal, adalah perubahan yang dapat dengan cepat dilakukan. Perubahan elit juga memiliki dimensi waktu yang dapat diprediksi. Namun, tanpa perubahan budaya, kurva belajar perpolitikan Indonesia akan mandek.

Dalam literatur ilmu politik, istilah “budaya politik” terutama mengacu pada: orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya, serta sikap terhadap peranan individu (diri kita sendiri) dalam sistem tersebut. Pengertian budaya politik juga mengacu pada dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.

Budaya politik suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh struktur politik, sedangkan daya operasional suatu struktur politik sangat ditentukan oleh konteks kultural tempat struktur itu berada.

Saya membaca blog teman saya Philips J. Vermonte¸ peneliti CSIS yang sedang menempuh studi doktoral di Northern Illinois University, AS. Dalam salah satu posting-nya yang membahas budaya politik Philips menjelaskan betapa dalam bidangcomparative politics, kajian budaya politik memang sempat tertinggal. Padahal, di masa jaya bidang studi comparative politics tahun 1950-an dan 1960-an, penekanan kajiannya lebih banyak pada budaya politik. Agaknya karena di masa-masa itu kajian comparative politics amat di dominasi paradigma modernisasi, dimana persoalan budaya politik dianggap merupakan bagian inheren dari proyek modernisasi.

Menurut Philips, kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab. Sebab pertama, konsep budaya politik terlalu abstrak. Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu, kelompok atau negara? Jika pada tingkatan individu, apakah dia bisa digeneralisasi? Jika pada level negara, apakah dia mencerminkan individu? Apabila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau religius, misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang lainnya? Persoalan kedua yang ditimbulkan karena sifatnya yang terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena. Alias, jika sudah mentok dan otak sudah malas berpikir, tinggal bilang: “yah, memang sudah budayanya begitu.”

Sebab kedua ia ditinggalkan adalah karena budaya politik selalu dikaitkan denganpolitical correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, bila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan kambing hitam latar belakang gagalnya demokrasi itu.

Philips kemudian menjelaskan bahwa sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian dari para comparativists. Ada beberapa penyebabnya, diantaranya adalah mulai tersedianya data set global mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data set ini memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih saintifik dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.

Dari ranah pembahasan akademik di atas, saya ingin membawanya ke dalam ranah praktis politik di Indonesia. Pertanyaannya: Mengapa budaya?

Dalam kesempatan ini saya menggunakan sebuah analogi: budaya adalah adalah kotak perkakas (toolbox) yang dimiliki oleh sebuah masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Jika ingin memasang paku kita menggunakan palu, jika ingin memasang sekerup kita menggunakan obeng. Semua perkakas itu ada di dalam toolbox kita. Kesatuan instrumen pemecahan masalah dalam suatu kelompok atau masyarakat inilah yang saya tempatkan sebagai budaya.

Dalam konteks politik, kita tentu menginginkan agar kotak itu berisi perkakas yang sesuai dengan kebutuhan dan kepercayaan kita. Kita ingin agar kotak itu berisi instrumen yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya, kita tidak menginginkan instrumen tersebut berwujud paternalisme, kekerasan, politik uang, atau nilai-nilai lain yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusiaan dan demokrasi.

Jika kita merunut sejarah politik, kita dapat membandingkan isi kotak perkakas bangsa dalam menyelesaikan permasalahannya. Dulu, pada masa kerajaan nusantara, paternalisme, atau bahkan feodalisme, adalah perkakas yang efektif, karena hubungan pemimpin dan rakyat ditundukkan di bawah klaim-klaim irasional, seperti keturunan hingga wakil Tuhan. Di masa yang lain, kita menyaksikan koersi dan hegemoni menjadi perangkat politik yang beroperasi dalam menyelesaikan masalah politik.

Perjalanan waktu membuktikan bahwa instrumen-instrumen tersebut, dalam contoh ini saya pilih paternalisme dan kekerasan, bukan saja secara normatif absolut kedua hal tersebut buruk, karena mensubordinasikan kemanusiaan yang hakiki, namun juga terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah di dalam masyarakat.

Masalah-masalah yang dihadapi Indonesia kontemporer sudah berkembang menjadi begitu kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan perkakas-perkakas lama. Masalah keragaman bangsa kita, misalnya, tidak bisa diselesaikan dengan koersi dan kekerasan, sementara paternalism dan budaya oligarkis terbukti menghasilkan ketimpangan dan sumbatan aspirasi.

Seringkali kita terjebak dalam sikap “taken for granted” ketika berhadapan dengan budaya politik. Dalam menghadapi korupsi dan ketidakefektifan birokrasi, misalnya, dengan cepat kita menuding budaya. Persis seperti yang diuraikan Philips tentang budaya sebagai “variabel residu” ketika menjelaskan suatu fenomena politik.

Budaya, yang kita ambil dari kata dalam bahasa Sanskerta, memiliki dua elemen penting, yaitu “budi” (akal) dan “daya” (kemampuan melakukan tindakan). Jadi, bisa kita simpulkan bahwa, budaya demokrasi adalah hasil dari suatu proses dimana setiap manusia memiliki pemikiran dan kemampuan melakukan tindakan politik yang didasarkan pada penghargaan terhadap persamaan hak, kebebasan, keteraturan bersama dan keragaman.

Budaya demokrasi akan memungkinkan semua orang berkontribusi menjaga kelangsungan hidup sistem. Dalam mengkaji dan mengembangkan budaya demokrasi, kita harus memasukan unsur kearifan lokal tempat demokrasi tersebut berkembang. Kita mencatat betapa para bapak bangsa kita, Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, Sjahrir, Tan Malaka, begitu intens mendialogkan narasi-narasi besar universal dengan kondisi dan konteks lokal. Persentuhan mereka dengan filsafat politik Barat, dan perenungan atas kondisi bangsa yang terjajah, tidak saja melahirkan gerakan nasionalisme yang bermuara perjuangan kemerdekaan, namun juga merupakan manuskrip filsafat politik yang berharga dari sisi intelektual.

Satu hal yang bisa dibaca dari berbagai studi penelusuran terminologi demokrasi adalah bahwa ia tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kompleksitas masyarakat, maka akan semakin kompleks pula demokrasi didefinisikan.

Penelusuran lebih jauh mengenai budaya demokrasi akan membimbing kita untuk menemukan model demokrasi yang sejalan dengan cara pandang dunia dan kearifan bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak akan ada lagi resistensi atau penolakan terhadap demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai satu gagasan yang berasal dari “Barat.”

Tantangan Membangun Budaya Demokrasi

Ada beberapa masalah yang harus kita petakan sebagai tantangan membangun budaya demokrasi.

(1) Politik uang saya tempatkan sebagai tantangan utama dalam membangun budaya demokrasi. Politik uang merusak budaya demokrasi dan menggerus kultur organisasi. Bahkan, politik uang akan menjerumuskan kita ke dalam pragmatisme negatif dalam bentuknya yang paling telanjang. Politik uang, yang menihilkan meritokrasi, akan mengubur semangat berprestasi.

(2) Patronase merupakan bom waktu karena kepentingan dan kelangsungan hidup orang banyak ditumpukan semata kepada figur yang kuat. Tidak perlu diingkari adanya kelompok yang meraup keuntungan dari situasi paternalistik di dalam suatu kelompok atau organisasi. Masyarakat perlu diajak dan dididik untuk percaya pada sistem dan cita-cita, bukan semata-semata pada orang. Figur yang kuat harus secara sadar dilembagakan menjadi kekuatan sistem. Pada saat yang sama, figur yang besar dan kuat mesti didorong untuk membangun sistem yang mapan.

(3) Kita juga masih melihat adanya semangat sub-nasionalisme yang begitu kuat. Saya beri nama “sub-nasionalisme” karena masalahnya bukan semata semangat kedaerahan sempit, fanatisme beragama, atau identitas kelompok kepentingan yang begitu kuat, namun kecenderungan untuk mengaktualkan identitas dan kepentingan entitas yang lebih kecil atas ongkos identitas dan kepentingan bangsa. Sejalan dengan perlunya membangun sistem dan meritokrasi, ke depan sudah tidak perlu lagi ada prasangka primordialitas dalam pengelolaan kehidupan politik. Siapa saja bisa jadi gubernur Jakarta, atau jadi bupati di kampung saya, Blitar, dan bukan tidak mungkin saudara kita dari Papua akan menjadi presiden Indonesia. Dalam sosiologi kita mengenal berbagai jenis status yang menentukan posisi seseorang dalam suatu bagunan struktur dan interaksi sosial. Dua di antaranya adalah“ascribed status” dan “achieved status.” Ascribed status adalah status sosial yang melekat pada seseorang karena kelahiran atau afiliasi keturunan. Status ini tidak dapat dipilih atau diraih oleh seseorang namun “terberi” oleh keadaan. Sebaliknya, achieved status adalah posisi sosial yang diperoleh melalui usaha dan kemampuan seseorang (merit). Kedua kategori status tersebut akan terus hadir dalam masyarakat. Yang menjadi tantangan bagi budaya demokrasi adalah ketika ascribed status menjadi lebih penting dan determinan dibanding achieved status dalam masalah-masalah yang membutuhkan akuntabilitas. Lagi-lagi, ini masalah yang akan mengerdilkan meritokrasi dan kompetisi.

(4) Faktor-faktor yang saya sudah sebutkan di atas menciptakan sistem dan budaya meritokrasi yang lemah. Bukan tidak mungkin orang akan mengalami disinsentif mewujudkan kemampuannya (merit) ketika yang dihargai dalam suatu kelompok adalah faktor-faktor non-meritokratis, seperti uang dan ascribed status. Masalah yang berkaitan dengan lemahnya meritokrasi.

(5) Tantangan terhadap budaya demokrasi yang tidak kalah pentingnya adalah adanya kecenderungan “zero sum game” di dalam persaingan politik. Dalam pemikiran kalah-menang dan “winner takes all” yang hitam putih seperti itu, yang menang tidak bisa atau tidak mau menerima yang kalah; dan yang kalah tidak mampu menghormati yang menang. Yang dirugikan dari situasi ini adalah hilangnya potensi sinergi dari dua pihak yang tentu memiliki kemampuan dan sumber daya yang patut diperhitungkan.

Melihat peta pemasalahan di atas, maka saya menempatkan meritokrasi sebagai sebagai agenda terpenting dalam membangun budaya demokrasi. Meritokrasi harus dijaga dari polusi politik uang dan, sebaliknya, meritokrasi yang kokoh akan membentengi suatu organisasi dari politik uang.

Meritokrasi juga akan melahirkan sejumlah pemimpin yang kompeten setelah ditempa oleh proses dan memiliki akar dan penerimaan publik. Meritokrasi tidak akan melahirkan orang kuat yang melampaui sistem dan institusi karena pemimpin yang dihasilkan oleh sistem meritokratis adalah “primus interpares” atau “yang utama dari yang setara” sehingga check and balance, baik secara formal maupun kultural, dapat berlangsung dengan efektif.

Membangun meritokrasi membutuhkan komitmen dari semua pihak. Konflik dan kompetisi yang timbul harus bisa diserap dan diakumulasi sebagai pembelajaran bagi sistem politik itu sendiri. Meritokrasi tidak akan membunuh pemimpin, malah menjadi ladang persemaian kepemimpinan. Bahkan mampu melakukan reproduksi kepemimpinan.

* * *

Itulah rangkuman observasi dan perenungan saya. Saya menawarkan suatu pemetaan dimana tantangan dan agenda kita ke depan adalah membangun budaya demokrasi baru sebagai prasyarat untuk mewujudkan demokrasi yang produktif.

Saya memilih meritokrasi sebagai pilar utama dalam membangun budaya politik. Tentu meritokrasi tidak akan menjadi satu-satunya obat bagi masalah budaya politik; juga bukan karena yang lain tidak penting, namun karena kita harus punya prioritas dan urgensi dalam melakukan perubahan.

Rakyat yang mampu untuk melakukan tindakan politik yang didasarkan pada penghargaan terhadap persamaan hak, kebebasan, keteraturan bersama dan keragaman adalah kondisi yang kita capai. Untuk menuju ke arah itu, partai politik harus berhasil memainkan peranannya sebagai sarana agregasi kepentingan publik ke dalam sistem politik dan menjadi saluran informasi.

Partai politik harus didorong untuk menyelesaikan masalah-masalah kongkrit dan lokal sesuai dengan lingkupnya. Partai politik yang terbiasa merespon masalah lokal juga akan menjadi tempat persemaian bagi tumbuhnya kepemimpinan politik yang berakar dan memiliki kualifikasi politis dan teknis.

Semua itu dibutuhkan untuk menjaga demokrasi sebagai sistem dapat tetap produktif, yaitu menghasilkan output keputusan yang memberi manfaat bagi rakyat.

——-

Anas Urbaningrum adalah Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Periode 2009-2014

Tulisan ini disarikan dari isi Pidato Kebudayaan Anas Urbaningrum: Membangun Budaya Demokrasi.

Masyarakat Madani dan Pluralitas Agama

Masyarakat Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama Di Indonesia

Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa “ istilah masyarakat madani” sebagai terjemahan “ civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada artikelnya “Menuju Masyarakat Madani”.[1]

Dewasa ini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Tetapi perkembangannya menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.[2]

Masyarakat madani atau yang disebut orang barat Civil society mempunyai prinsip pokok pluralis, toleransi dan human right termasuk didalamnya adalah demokrasi. Sehingga masyarakat madani dalam artian negara menjadi suatu cita-cita bagi negara Indonesia ini, meskipun sebenarnya pada wilayah-wilayah tertentu, pada tingkat masyarakat kecil, kehidupan yang menyangkut prinsip pokok dari masyarakat madani sudah ada. Sebagai bangsa yang pluralis dan majemuk, model masyarakat madani merupakan tipe ideal suatu mayarakat Indonesia demi terciptanya integritas sosial bahkan integritas nasional.

Memencari padan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita. Namun banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.[3]

Dalam bahasa Arab, kata “madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani bias berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota,yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi. [4]

Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda.

Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Atau dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Dan civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim.[5]

Pemetaan tentang civil society pernah dilakukan oleh Michael W. Foley dan Bob Edwards yang menghasilkan Civil Sosiety I dan Civil Society II. Namun dalam perkembangannya , terdapat analisis yang mencakup dari kedua aspek (civil Society I dan II), hingga menghasilkan kombinasi atau tipe Civil society III.

Dalam wacana civil society I di Indonesia lebih menekankan aspek horizontal dan biasanya dekat dengan aspek budaya. Civil society di sini erat dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity”. Aspek ini dibahas pemikir masyarakat madani atau madaniah yang mencoba melihat relevansi konsep tersebut (semacam “indigenisasi”) dan menekankan toleransi antar agama. Analis utama dalam kelompok ini adalah Nurcholish Madjid yang mencoba melihat civil society berkaitan dengan masyarakat kota madinah pada jaman Rosulullah.Menurut Madjid, piagam madinah merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi, sementara toleransi di Eropa (Inggris ) baru dimulai dengan The Toleration Act of 1689.[6] Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari kelompok yang menggunakan “civil society’ dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir utamanya. Perdebatan utamanya terletak pada bentuk masyarakat ideal dalam civil society tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan “Islam cultural” namun contoh masyarakat Madinah kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia.[7]

Selain civil society dan masyarakat madani, konsep masyarakat warga atau kewargaan digunakan pula oleh Ryaas Rasyid dan Daniel Dhakidae. Wacana dalam civil Society II memfokuskan pada aspek “vertical” dengan mengutamakan otonomi masyarakat terhadap negara dan erat dengan aspek politik. Dalam civil society II, istilah “civil” dekat dengan “citizen’ dan “liberty”. Terjemahan yang diIndonesiakan adalah Masyarakat warga atau masyarakat kewargaan dan digunakan oleh ilmuwan politik . Pemahaman civil society II intinya menekankan asosiasi diantara individu (keluarga) dengan negara yang relatif otonom dan mandiri. Namun, terdapat perdebatan apakah partai politik atau konglomerat termasuk disini atau apakah semua organisasi yang non-negara merupakan civil society. Jadi civil society II dapat bermakna beragam dan ada pula yang mndefinisikan “civil society’ sebagai “the third sector” yang berbeda dari pemerintah dan pengusaha.[8]

Pembahasan civil society III merupakan upaya untuk mempertemukan civil sosiey I dan civil society II. Kombinasi antara Civil society I dan II yang menjadi civil society III telah dibahas oleh Afan Gaffar di bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju demokrasi (1999). Dibahas pula oleh Paulus Wirutomo dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berjudul Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi. Konsep civil society III ini yang dirasa relevan dengan masyarakat Indonesia dimana keadaan vertical (antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi dan partisipasi erat kaitannya dengan situasi horizontal atau SARA. Kedua aspek tersebut mengalami represi dan sejak reformasi 1998 muncu ke permukaan dan membutuhkan perhatian dalam proses re-integrasi.[9]

Maka dari itu, perspektif masyarakat madani di Indonesia dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratif, dengan landasan taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa. Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamaddun). Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).[10]

Di sini pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negative”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus difahami sebagai ‘pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.[11]

Di Indonesia, pluralisme dalam keberagamaan dapat dibagi menjadi 3 jaman perkembangannya, yaitu:

Pluralisme cikal-bakal. Yang di maksud istilah ini adalah pluralisme yang relative stabil, karena kemajemukan suku dan masyarakat pada umumnya masih berada dalam taraf statis. Mereka hidup dalam lingkungan yang relative terisolasi dalam batas-batas wilayah yang tetap, dan belum memiliki mobilitas yang tinggi karena teknologi komunikasi dan transportasi yang mereka miliki belum memadai. Agama-agama suku hidup dalam claim dan domain yang terbatas, tidak berhubungan satu dengan lainnya. Keadaan seperti ini tidak banyak berubah sampai datang pengaruh agama yaitu agama Hindu dan Budha dengan tingkat peradabannya masing-masing.

Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13 ketika agama islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul dengan kedatangan agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun Protestan) pada kira-kira abad 15. konflik dan peperangan mulai terjadi diantara kerajaan islam di pesisir dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Ketika penjajah dating dengan konsep “God, Gold, and Glory”, persaingan antara Islam dan Kristen terus berlangsung hingga akhir abad 19.

Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak dominasi Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya “negara” Nederland Indie. Kenyataan negara ini menjadi sebuah kesatuan organic yang memiliki satu pusat pemerintah yang mengatur kehidupan berdasarkan hukum dan pusat kekuasaan yang riil. Pluralisme SARA memang diperlemah, disegregasikan, , dan dibuat terfragmentasikan demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya mansipasi SARA pun terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan 1945.[12]

http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-indonesia/

Masyarakat Madani

MASYARAKAT MADANI: AKTUALISASI PROFESIONALISME COMMUNITY WORKERS DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERKEADILAN

DR. EDI SUHARTO MSC

PENGANTAR

Ketika mahasiswa memberikan judul orasi ilmiah: “Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Yang Berkeadilan”. Ada dua kata yang langsung masuk ke pusat kesadaran saya: yakni mengenai kata community workers dan kedua mengenai kata masyarakat madani yang berkeadilan. Mengapa istilah community workers tidak dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia? Mengapa istilah masyarakat madani harus disertai dengan kata “yang berkeadilan”?

Saya mencoba memahami. Soal community workers, saya yakin, mahasiswa bukannya tidak mengetahui terjemahan community workers yang secara harafiah bisa di-Indonesiakan menjadi para pekerja (sosial) masyarakat. Namun saya juga tahu bahwa istilah pekerja sosial masyarakat telah mengalami erosi dan degradasi makna. Saya yakin mahasiswa keberatan dengan istilah itu karena pekerja sosial masyarakat bisa menunjuk pada para pekerja sosial volunteer sebagai kontraposisi dari pekerja sosial profesional.

Lantas bagaimana soal masyarakat madani yang berkeadilan? Apakah jika istilah “masyarakat madani” tanpa tambahan kata sifat “yang berkeadilan” memiliki arti yang berbeda atau setidaknya tidak sesuai dengan arti “masyarakat madani” yang sejati? Untuk soal ini saya mencoba menerka-nerka. Mungkin mahasiswa tahu bahwa ternyata makna masyarakat madani bisa merosot menjadi sebuah makna masyarakat lain yang tidak sejalan dengan visi dan misi civil society. Atau mungkin mahasiswa ingin menunjukkan sebuah makna baru dari istilah masyarakat madani?

Yang ingin saya tunjukkan dari paparan di atas adalah bahwa memang masih banyak tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pekerja sosial, khususnya community workers, dalam mengaktualisasikan jati dirinya. Apalagi tantangan-tantangan dalam kaitannya dengan tujuan profesionalismenya, yakni mewujudkan masyarakat madani. Tantangan-tantangan tersebut masih belum beranjak dari persoalan epistemologi. Dengan sedikit modifikasi pada judulnya, sebagian besar dari makalah ini ingin mencoba menyingkap tirai itu. Kemudian akan mencoba mengusulkan sebuah pandangan baru, yang oleh Anthony Gidden disebut sebagai “Jalan Ketiga”.

DUA PARADIGMA

Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada baiknya, kita tengok secara sepintas dua paradigma besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat madani, yaitu Demokrasi Sosial Klasik dan Neoliberalisme (lihat Giddens, 2000: 8-17).

1. Demokrasi Sosial Klasik.

Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa semua ini dapat diatasi lewat intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa diberikan oleh pasar. Intervensi pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan adalah mutlak diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi Sosial Klasik:

  • Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
  • Negara mendominasi masyarakat madani
  • Kolektivisme.
  • Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.
  • Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.
  • Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.
  • Egalitarianisme yang kuat.
  • Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara “sejak lahir sampai mati”.
  • Modernisasi linear.
  • Kesadaran ekologis yang rendah.
  • Internasionalisme.
  • Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).

2. Neoliberalisme

Neoliberalisme dikenal juga dengan Thatcherisme (Margaret Thatcher adalah mantan PM Inggris yang sangat setia mengikuti faham neoliberalisme semasa berkuasa). Apabila Demokrasi Sosial Klasik cenderung pro pemerintah, maka ciri utama Neoliberalisme adalah memusuhi pemerintah. Edmund Burke, pelopor konsevatisme di Inggris, menyatakan dengan jelas ketidaksukaannya kepada negara. Jika perluasan perannya terlalu jauh dapat mematikan kebebasan dan kemandirian. Pemerintahan Reagan dan Thatcher mendasarkan diri pada gagasan ini dan menganut skeptisisme liberal klasik mengenai peran negara. Intinya peran negara tidak dibenarkan secara ekonomis dan harus digantikan oleh superior pasar. Menuut Giddens (2000:9):Ciri-ciri Neoliberalisme adalah:

  • Pemerintah minimal.
  • Msyarakat madani yang otonom
  • Fundamentalisme pasar.
  • Otoritarianisme moral dan individualisme ekonomi yang kuat.
  • Kemudahan pasar tenaga kerja.
  • Penerimaan ketidaksamaan.
  • Nasionalisme tradisional.
  • Negara kesejahteraan sebagai jaring pengaman
  • Modernisasi linear.
  • Kesadaran ekologis yang rendah.
  • Teori realis tentang tatanan internasional.
  • Termasuk dalam dunia dwikutub.

MASYARAKAT MADANI

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.

6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:

1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.

2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.

3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.

5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.

2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”

Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.

Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.

AGENDA JALAN KETIGA

Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dapat dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yaitu: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80):

Politik Jalan Ketiga:

  • Persamaan
  • Perlindungan atas mereka yang lemah.
  • Kebebasan sebagai otonomi.
  • Tak ada hak tanpa tanggungjawab.
  • Tak ada otoritas tanpa demokrasi.
  • Pluralisme kosmopolitan.
  • Konservatisme filosofis.
  • Program Jalan Ketiga:
  • Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).
  • Masyarakat madani yang aktif.
  • Keluarga demokratis.
  • Ekonomi campuran baru.
  • Kesamaan sebagai inklusi.
  • Kesejahteraan positif.
  • Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).
  • Bangsa kosmopolitan.
  • Demokrasi kosmopolitan
  • Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakeley dan Suggate, 1997):

1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan adil.

2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya.

3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal.

Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari community workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah mimpi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari.

CATATAN

1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.

2. Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah staf pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosial di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun 2002 belum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah memperoleh PhD dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The Urban Informal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan Social Policy.

BAHAN BACAAN

Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm.

Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David Robinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies, hal. 80 - 100.

DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon.

Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-East Institute, hal.1-7.